Kamis, 19 Januari 2012

PEMBUNUHAN KARAKTER ANAK



 

Ketika membicarakan intelegensi, kita tidak mengacu pada kemampuan untuk memperoleh nilai yang bagus dalam tes tertentu, atau kemampuan berprestasi bagus di sekolah, semua ini paling-paling hanyalah indikator untuk sesuatu yang lebih besar, dalam, dan penting. Intelegensi yang kita maksud adalah suatu gaya hidup, cara berperilaku dalam berbagai situasi, terutama dalam situasi yang baru, asing, dan membingungkan. Tes intelegensi yang sesungguhnya tidak akan berfokus pada seberapa besar pengetahuan kita mengenai cara bertindak, melainkan cara kita berperilaku ketika kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Orang cerdas, muda atau tua, ketika menghadapi suatu persoalan atau situasi baru akan membuka dirinya terhadap situasi atau persoalan itu. Dia mencoba memahami sesuai pikirannya dan mempersepsikan segala sesuatu menurut kesanggupannya terhadap situasi dan persoalan itu. Dia memikirkan persoalan itu, alih-alih memikirkan dirinya sendiri atau apa yang mungkin akan terjadi pada dirinya, dia bergumul dengan persoalan dan situasi baru itu dengan berani, imajinatif, pandai, percaya diri atau paling tidak penuh pengharapan, dan ketika gagal menaklukannya, dia tidak akan merasa malu atau takut akan kesalahan-kesalahannya melainkan mengambil pelajaran darinya, inilah yang disebut inteligen. Jelas sekali bahwa akarnya terletak pada perasaan tertentu tentang kehidupan dan tentang diri sendiri terkait kehidupan. Sementara itu, nirintelegensi (unintelligence) bukan seperti anggapan kebanyakan psikolog yang menyatakan bahwa nirintelegensi hanya satu tingkat saja di bawah intelegensi.

Nirintelegensi merupakan cara berperilaku yang sama sekali berbeda, yang lahir dari serangkaian sikap yang sama sekali berbeda.

Dalam penelitian dibandingkan anak-anak yang cerdas, tidak cerdas atau kurang cerdas telah memperlihatkan kepadanya bahwa anak yang cerdas, yang kurang cerdas, dan yang bodoh masing-masing merupakan individu yang sangat berbeda. Anak yang cerdas selalu ingin tahu tentang hidup dan realitas, sigap untuk berhubungan dengannya, merengkuhnya, serta menyatukan diri dengannya. Tidak ada tembok pemisah atau rintangan antara dia dan kehidupan. Anak yang bodoh sangat kuran ingin tahu, jauh kurang tertarik dengan apa yang sedang terjadi dan apa yang nyata, serta cenderung hidup dalam dunia fantasi. Anak yang cerdas senang melakukan percobaan, mencoba hal-hal baru, dia hidup sesuai dengan rumus bahwa ada lebih dari satu cara untuk melakukan hal yang dianggapnya sulit. Jika dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan satu cara, dia akan segera mencoba cara yang lain. Anak yang bodoh biasanya takut mencoba cara apa pun, bahkan dibutuhkan usaha keras untuk meyakinkan dia agar mencoba bahkan sekali saja. Bila percobaan yang dia lakukan itu gagal, dia selesai.

Anak yang cerdas biasanya sabar, sanggup bertoleransi terhadap ketidakpastian serta kegagalan, dan akan terus mencoba sampai menemukan jawaban. Ketika semua percobaan yang dilakukannya gagal, dia bahkan dapat mengakui secara terus terang bahwa untuk sementara dia belum bisa menemukan jawaban. Hal itu mungkin saja akan mengganggunya, tetapi dia bisa bersabar. Sering terjadi, anak cerdas tidak ingin diberi tahu cara menyelesaikan persoalan atau mengatasi masalah yang sedang dia hadapi, sebab dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memahami sendiri persoalan itu pada kesempatan berikutnya. Namun, tidak demikian dengan anak bodoh. Biasanya, dia tidak bisa bertahan dalam ketidakpastian dan kegagalan. Baginya, sesuatu pertanyaan yang tak terjawab bukan merupakan tantangan atau kesempatan, melainkan suatu ancaman. Artinya, jika dia tidak segera menemukan jawaban maka jawaban itu harus diberikan kepadanya, dengan segera. Dia juga mesti memiliki jawaban terhadap segala sesuatu. Demikianlah anak-anak itu. Terhadap mereka, seorang guru pernah berkata, “murid-murid saya suka diberi pertanyaan yang hanya memerlukan satu jawaban tunggal.”Memang, anak-anak bodoh selalu demikian dan, aneh bin ajaib, guru tersebut pun begitu.

Anak-anak cerdas bersedia untuk terus maju, meski dengan dasar pemahaman dan informasi yang tidak sempurna. Dia bersedia menanggung risiko mengarungi samudera raya yang belum dipetakan, untuk bereksplorasi ketika daratan tampak suram, dengan sedikit petunjuk, dan tanpa penerangan yang memadai. Sekedar contoh, anak-anak cerdas akan selalu membaca buku yang belum dipahami dengan harapan agar setelah beberapa waktu ia akan cukup memahaminya sehingga mendorong dia untuk merasa ada gunanya untuk terus membacanya sampai selesai. Akan tetapi, anak-anak bodoh akan terus maju ketika ia yakin secara persis di mana dia berdiri dan apa yang terbentang dihadapannya. Jika dia merasa tidak tahu secara persis apa yang akan diberikan oleh suatu pengalaman dan jika hal itu tidak persis seperti pengalaman yang dimilikinya, dia tidak akan terlibat di dalamnya. Anak-anak cerdas merasa bahwa alam raya, secara keseluruhannya, dapat diapersepsi, rasional, dan merupakan tempat yang nyaman. Sementara anak-anak bodoh akan merasa bahwa alam raya ini tidak dapat diapersepsi, tidak dapat diprediksi, serta berbahaya. Dia merasa bahwa dia tidak pernah dapat memperkirakan apa yang mungkin terjadi, terlebih lagi dalam situasi baru, kecuali bahwa keadaan itu akan menjadi sangat buruk.

Tak seorang pun dilahirkan bodoh. Coba sesekali amati bayi dan anak-anak, dan memikirkan secara serius apa yang mereka pelajari dan lakukan, dan anda akan melihat bahwa mereka (kecuali bayi dan anak-anak yang sangat terbelakang) memperlihatkan suatu gaya hidup dan hasrat serta kemampuan untuk belajar, yang pada diri orang-orang dewasa dapat disebut sebagai jenius. Hampir tidak satu pun orang dari seribu atau sepuluh ribu orang, yang sanggup belajar begitu banyak selama tiga tahun dalam hidupnya atau mengalami perkembangan pemahaman yang pesat tentang dunia di sekitarnya, seperti halnya setiap bayi belajar dan tumbuh dalam tiga tahun pertama hidupnya. Namun apa yang terjadi dengan kapasitas belajar yang luar biasa serta perkembangan intelektual ini seiring bertambahnya usia kita?

Yang terjadi, kapasitas belajar dan perkembangan intelektual ini dirusak oleh, lebih dari apapun, proses secara keliru kita namai sebagai pendidikan, sebuah proses yang terjadi di sebagian besar rumah dan sekolah. Kita, orang-orang dewasa, merusak banyak kapasitas intelektual dan kreativitas anak-anak terutama dengan membuat mereka menjadi takut, takut karena tidak melakukan apa yang diinginkan pihak lain, takut melakukan kesalahan, takut gagal, dan takut salah. Dengan demikian kita membuat mereka takut berspekulasi, takut melakukan percobaan, serta takut mencoba hal-hal sulit dan yang asing. Bahkan kalaupun bukan kita yang menciptakan rasa takut pada anak-anak, ketika mereka datang kepada kita dengan rasa takut yang sudah jadi dan telah terbentuk, kita menggunakan rasa takut ini sebagai pegangan untuk memanipulasi mereka serta membuat mereka melakukan apa yang kita kehendaki. Alih-alih mencoba mengurangi rasa takut mereka, kita justru memperkuat rasa takut itu, sering kali sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Kita menyukai anak-anakyang sedikit takut pada kita, penurut, sopan, kendati kita tentu tidak begitu suka juga bila mereka menjadi sedemikian takut sehingga mengancam gambaran diri kita sebagai orang yang baik dan pantas disayang, dan karena itu tidak perlu ditakuti. Kita menganggap ideal tipe anak “baik” yang cukup takut terhadap kita sehingga melakukan apa saja yang kita inginkan, tanpa membuat kita merasa bahwa rasa takut terhadap kitalah yang membuat mereka melakukannya.

Kita merusak kecintaan akan belajar tanpa pamrih pada diri anak-anak, yang begitu kuat ketika mereka masih kecil, dengan mendorong serta memaksa mereka agar bekerja demi memperoleh ganjaran-ganjaran picik seperti bintang emas, kertas kerja dengan angka 100 yang dibingkai dan dipajang ditembok, nilai A dalam laporan hasil pendidikan, sertifikat, daftar mahasiswa unggulan, atau singkatnya demi kepuasan rendahan berupa perasaan bahwa mereka lebih baik daripada siapapun. Kita mendorong mereka untuk merasakan bahwa maksud dan tujuan dari segala sesuatu yang mereka lakukan di sekolah tidak lebih dari sekedar memperoleh angka yang bagus dalam setiap tes, atau membuat orang lain terkesan dengan apa yang mereka ketahui. Kita tidak hanya membunuh rasa ingin tahu merupakan sesuatu yang baik dan dapat dibanggakan. Tidak heran, ketika mencapai usia sepuluh tahun, kebanyakan mereka tidak akan mengajukan pertanyaan dan pandai mencemooh segelintir anak-anak yang mau mengajukan pertanyaan.

Dalam banyak cara, kita meruntuhkan keyakinan anak-anak bahwa berbagai hal masuk akal, atau harapan mereka bahwa berbagai hal bisa terbukti masuk akal. Kita melakukan ini, pertama-tama dengan membagi-bagi hidup menajdi potongan-potongan pokok persoalan yang berubah-ubah dan tidak berhubungan, yang kemudian coba kita “integrasikan” dengan peralatan yang artifisial dan tidak relevan.

Lebih buruk lagi, kita melakukan ini tanpa tahu bahwa kita sedang melakukannya, sehingga setelah mendengar omong kosong yang kita jejalkan ke telinga mereka seakan-akan itu bermakna, mereka kemudian yakin bahwa sumber kebingungan mereka bukan terletak pada materinya, melainkan pada kebodohan mereka sendiri. Labih jauh lagi, kita memisahkan anak-anak dari akal sehat mereka sendiri dan dari dunia realitas dengan cara menuntut mereka bermain dan menjejalkan mereka dengan kata-kata serta simbol-simbol, yang memiliki sedikit  atau bahkan tanpa makna sama sekali. Kita membuat simbol-simbol itu menjadi tidak bermakna bagi mayoritas siswa, yang tidak mampu menggunakan simbol sebagai cara untuk belajar tentang dan berhubungan dengan realitas, yang tidak dapat memahami instruksi tertulis, yang meski telah membaca buku, pengetahuannya tidak lebih baik dibandingkan sebelum membaca, yang mungkin memiliki beberapa kata baru yang bergemerutuk di kepalanya, namun yang model mentalnya tentang dunia tetap tidak berubah dan memang kebal terhadap perubahan. Terhadap kelompok minoritas, yakni para siswa yang mampu dan sukses, kita sepertinya hendak mengubahnya menjadi sesuatu yang lain sekaligus juga membahayakan. Tipe orang yang dapat memanipulasi kata-kata serta symbol-simbol secara cepat, sambil tetap sangat terpisah dari realitas tempat mereka berada, tipe orang yang suka berbicara dalam generalitas yang luas, namun akan diam dan kesal jika ada yang meminta contoh dari apa yang sedang mereka bicarakan.

Kita mendorong anak-anak agar betindak bodoh, bukan hanya dengan menakut-nakuti serta membingungkan mereka tetapi juga dengan membuat mereka bosan dengan memenuhi hari-hari mereka dengan tugas-tugas menjemukan dan repetitive yang tidak menarik perhatian atau membangkitkan intelegensi mereka. Hati kita bahagia ketika menyaksikan seruangan penuh anak-anak yang begitu rajin mengerjakan berjam-jam tugas-tugas yang dipaksakan, dan kita akan lebih puas dan bahagia lagi jika seseorang mengatakan kepada kita bahwa anak-anak sangat tidak suka terhadap apa yang sedang mereka kerjakan. Kita mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa pekerjaan yang tidak ada habisnya dan membosankan ini merupakan persiapan untuk hidup yang baik kelak, dan kita takut bahwa tanpa itu semua maka anak-anak menjadi sangat sulit “dikendalikan”. Akan tetapi, mengapa pekerjaan ini sangat membosankan? Mengapa tidak memberikan tugas-tugas yang lebih menarik dan menantang? Hal ini karena, di sekolah dimana setiap tugas mesti dikerjakan sampai selesai dan setiap jawaban harus benar, apabila kita memberi anak-anak tugas yang lebih menantang mereka menjadi takut dan segera memaksa kita menunjukan cara-cara untuk mengerjakannya. Ketika seseorang memiliki begitu banyak tugas tertulis yang harus dikerjakan, dia tentu tidak memiliki waktu untuk banyak berfikir.Dengan cara-cara seperti itu, anak-anak dibiasakan menggunakan hanya sedikit kapasitas berfikirnya. Mereka akan merasa bahwa sekolah merupakan tempat di mana mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk mengerjakan tugas-tugas yang membosankan, dalam cara yang menjemukan.  Dalam waktu singkat, anak-anak akan terbiasa berperilaku tidak cerdas yang susah dihilangkan sekalipun mereka ingin bebas dari perilaku tersebut.

Sekolah cenderung menjadi tempat yang tidak jujur, juga tidak nyaman. Kita orang-orang dewasa sering kali tidak jujur terhadap anak-anak, paling tidak disekolah. Kita mengajari mereka bukan dengan apa yang kita pikirkan, melainkan apa yang kita rasa harus mereka pikirkan atau apa yang orang lain rasakan atau katakana harus mereka pikirkan. Kelompok-kelompok penekan akan sangat gampang membuang dari ruang kelas, buku pelajaran, dan perpustakaan, fakta-fakta, serta gagasan-gagasan apa pun  yang menurut mereka tidak menyenangkan ataupun susah. Dengan kata lain, kita tidak akan bersikap jujur kepada anak-anak sebagaimana seharusnya sampai orang tua, politisi, dan kelompok penekan menuntut kita bersikap demikian. Bahkan dalam bidang-bidang yang paling tidak kontroversial sekalipun, pengajaran kita, buku-buku, dan buku teks yang kita berikan kepada anak-anak menyajikan gambaran yang tidak jujur dan terdistrosi tentang dunia.

Faktanya, kita tidak merasa berkewajiban untuk bersikap jujur kepada anak-anak. Kita seperti manajer dan manipulator. Kita menganggap bahwa hak dan kewajiban kita bukanlah mengatakan kebenaran, melainkan mengatakan apa saja yang terbaik yang paling mendukung tujuan kita. Dalam hal ini, tujuan membuat anak-anak tumbuh menjadi orang-orang yang seperti kita inginkan, memikirkan apa saja yang kita inginkan mereka pikirkan. Kita hanya perlu meyakinkan diri sendiri bahwa suatu kebohongan akan “lebih baik” bagi anak-anak daripada kebenaran, dan kita pun akan berbohong. Kita bahkan tidak selalu memerlukan alasan itu, sering kali kita berbohong hanya untuk kenyamanan kita sendiri.

Yang lebih buruk lagi, kita tidak jujur tentang diri kita sendiri, tentang rasa takut, keterbatasan-keterbatasan, kelemahan-kelemahan, prasangka-prasangka, dan juga motif-motif kita. Kita menampilkan diri kepada anak-anak seakan-akan kita ini dewa, serba tahu “mahakuasa”, selalu rasional, pasti adil, dan selalu benar. Hal ini merupakan kebohongan terburuk dari segala kebohongan yang dapat kita katakan tentang diri kita sendiri

Ketika kita tidak jujur dengan perasaan kita sendiri, hal inilah yang membuat atmosfer sekian banyak sekolah menjadi sangat tidak menyenangkan. Orang-orang, yang menulis buku yang harus dibaca oleh para guru, berulang kali mengatakan bahwa para guru harus mencintai semua anak-anak di dalam kelas dengan kadar yang sama. Bila dengan ini dimaksudkan bahwa seorang guru mesti melakukan apa saja yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk setiap anak di dalam kelas,bahwa ia memiliki tanggung jawab yang sama bagi kebaikan setiap anak, perhatian yang sama terhadap masalah mereka masing-masing. Akan tetapi, yang merka maksud mereka bukanlah seperti itu; maksud mereka adalah perasaan, afeksi, semacam kesenangan dan kebahagiaan  yang satu orang dapatkan dari keberadaan dan kebersamaannya dengan oran lain. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang dapat ditakar dengan sendok kecil, di mana setiap orang memperoleh sama banyak.

Seorang guru yang mengatakan bahwa “saya mencintai semua anak-anak di dalam kelas saya sama rata.” Sebenarnnya hal itu mustahil dan ini sebenarnya sedang berbohong kepada dirinya sendiri atau kepada yang lain dan mungkin justru sangat tidak menyukai anak-anak itu. Tidak ada yang salah dengan itu, banyak juga orang dewasa tidak suka dengan anak-anak dan tidak ada alasan mengapa mereka merasa demikian. Akan tetapi, persoalannya adalah mereka merasa bahwa mereka harus suka anak-anak. Ini membuat mereka merasa bersalah, membuat mereka benci, yang pada gilirannya membuat mereka berusaha mengingkari rasa bersalah mereka dengan kesabaran dan rasa benci mreka dengan kekejaman yang halus. Suatu model kekejaman yang dapat diamati dalam banyak ruang kelas. Di atas segalanya, itulah yang membuat mereka berbicara dan bertindak dalam cara yang palsu, bermanis-manis, memuakkan, serta dengan senyum dan cara tertawa yang palsu, yang anak-anak sedemikian banyak di sekolah, sekaligus yang mereka tidak sukai dan benci.

Ketika kita tidak jujur dengan mereka, kita tidak mengizinkan anak-anak agar juga jujur terhadap kita. Pertama-tama, kita menuntut mereka agar ambil bagian dalam sebuah khayalan bahwa sekolah dalah tempat yang luar biasa dan bahwa mereka mencintai sekolah setia detiknya. Mereka belajar lebih dini bahwa rasa tidak menyukai sekolah atau guru adalaha dilarang, tidak boleh dikatakan, bahkan tidak boleh dipikirkan.

Di balik banyak hal yang kita lakukan di sekolah terletak beberapa gagasan yang dapat diungkapkan secara garis besar sebagai beriku: (1). Dari begitu banyaknya pengetahuan manusia, ada bagian dan potongan tertentu yang dapat disebut sebagai bagian esensial, yang perlu diketahui oleh setiap orang, (2). Seseorang dapat dianggap berpendidikan dan memenuhi syarat untuk hidup secara inteligen dalam dunia modern dewasa ini serta menjadi anggota masyarakat yang berguna bergantung seberapa banyak dia mengiasai pengetahuan esensial, (3). Karenanya tugas sekolahlah memasukan sebanyak mungkin pengetahuan esensial ini ke dalam pikiran anak-anak. Maka, kita lalu berusaha memasukan fakta-fakta, rumus-rumus, dan gagasan-gagasan tertentu ke dalam kepala anak-anak di sekolah, terlepas dari apakah itu menarik bagi mereka atau tidak, dan kalaupun ada banyak hal lain yang jauh lebih menarik dipelajari.

Gagasan-gagasan ini absurd dan omong kosong. Kita tidak akan pernah mengalami pendidikan yang sesungguhnya atau pembelajaran yang nyata di sekolah-sekolah kita jika kita belum membersihkan segal gagasan yang tidak masuk akal ini. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana ank-anak mempelajari apa yang sangat ingin mereka ketahui, alih-alih apa yang kita piker harus mereka lakukan. Anak yang ingin mengetahui sesuatu akan mengingat hal itu dan memanfaatkannya begitu dia memilikinya. Anak yang mempelajari sesuatu untuk menyenangkan pihak lain akan segera melupakannya ketika kebutuhan untuk menyenangkan pihak lain atau bahaya karena tidak bisa menyenangkan orang lain berlalu. Inilah alas an mengapa anak-anak sangat cepat melupakan segala sesuatu yang mereka pelajari di sekolah kecuali sebagian kecil. Hal tersebut tidak ada gunanya atau tidak menarik bagi merka, mereka tidak ingin, atau berharap, atau bahkan berniat untuk mengingat hal itu. Satu-satunya perbedaan antara siswa yang cerdas dan bodoh dalam konteks ini adalah bahwa siswa bodoh akan segera melupakannya sementara siswa cerdas dengan sangat hati-hati akan menunggu sampai setelah ujian. Inilah juga mengapa, kita dapat membuang banyak hal yang kita ajarkan di sekolah, karena toh anak-anak hampir selalu membuang itu semua.

Gagasan tentang suatu kurikulum, kumpulan pengetahuan yang esensial, akan menjadi absurd sekalipun anak-anak mengingat apa saja yang kita “ajarkan” kepada mereka. Kita tidak akan sepakat tentang pengetahuan mana yang esensial. Orang yang telah melatih dirinya dalam bidang pengetahuan atau kompetensi khusus secara alamiah akan berfikir bahwa spesialisnya harus ada dalam kurikulum. Para sejarawan “ngotot” agar lebih banyak lagi kurikulum tentang sejarah, para ahli matematika memaksa lebih banyak matematika, para ilmuwan menuntut lebih banyak pengetahuan alam, para ahli bahasa modern lebih menginginkan agar anak-anak belajar bahasa Inggris, Prancis, German dan seterusnya. Setiap orang menghendaki bidangnya mendapat perhatian utama, dengan pemahaman apabila permintaan terhadap bidang keahliannya akan meningkat maka akan meningkat pula manfaat ekonomis yang ia dapat. Siapa yang akan menang dan siapa yang kalah tidak bergantung pada kebutuhan nyata anak-anak atau bahkan masyarakat, tetapi pada siapa yang lebih terampil dalam bidang hubungan masyarakat, siapa yang lebih jago melobi, dan siapa yang paling sanggup memanfaatkan peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan pendidikan, seperti munnculnya sputnik di langit pada malam hari.

Gagasan tentang kurikulum tidak akan sahih kalaupun kita dapat menyetujui apa yang harus termuat di dalamnya.sebab pengetahuan itu sendiri berubah. Banyak dari apa yang seorang anak pelajari di sekolah akan terbukti tidak benar setelah betahun-tahun kemudian. 

Selain itu kita tidak dapat menentukan secara pasti pengetahuan macam apa yang akan sangat dibutuhkan empat puluh, dua puluh, atau sepuluh tahun dari sekarang. 

Bagaimanapun juga, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa sepenggal pengetahuan lebih penting daripada yang lain, atau bahwa sebagian pengetahuan bersifat lebih esensial, dan sisanya tidak berguna? Seorang anak yang hendak belajar sesuatu yang tidak dapat dan tidak ingin diajarkan oleh sekolah akan diberitahu agar tidak membuang-buang waktu. Akan tetapi, bagaimana bisa kita katakan bahwa apa yang hendak dia pelajari kurang penting daripada apa yang kita inginkan dia pelajari? Kita seharusnya bertanya berapa banyak pengetahuan yang dapat dihimpun setiap orang di akhir sekolahnya. Mungkin jutaan pengetahuan. Apakah kemudian kita percaya bahwa satu dari jutaan pengetahuan lebih penting daripada yang lainnya? Atau, apakah masalah sosial dan nasional kita akan teratasi jika kita mengetahui satu cara menghasilkan anak-anak yang memiliki dua juta pengetahuan, ketimbang hanya satu juta? Persoalan kita tidak muncul dari kenyataan bahwa kita kekurangan para ahli untuk mengatakan kepada kita tentang apa yang perlu dilakukan, melainkan karena kita tidak dan tidak akan melakukan apa yang kita tahu perlu dilakukan sekarang.

Belajar (learning) bukanlah segala-galanya, dan tentu saja sepengal pembelajaran sama baiknya dengan yang lain. Bukan materi pelajaran yang membuat suatu pembelajaran lebih berharga daripada yang lain, melainkan semangat dalam melaksanakan pembelajaran itu. Jika seorang anak menjalankan jenis pembelajaran seperti dijalankan kebanyakan anak-anak di sekolah pun jika mereka benar-benar belajar menelan begitu saja semua yang dikatakan guru, agar dapat dituangkan kembali secara utuh tanpa berfikir ketika guru memintanya. Dia membuang-buang waktu, atau, lebih dari itu, kita mebuang-buang waktunya. Pembelajaran seperti ini tidak akan bersifat permanen, tidak relevan, dan tidak berguna. Namun, seorang anak yang belajar secara alamiah, yang mengejar rasa ingin tahunya, menambah dalam model mentalnya akan realitas apa saja yang dia butuhkan, serta yang menolak tanpa rasa takut dan bersalah apa yang tidak dia butuhkan, akan berkembang dalam pengetahuan, dalam kecintaannya akan pembelajaran, dan dalam kemampuannya untuk belajar. Dia berada pada jalur yang tepat untuk menjadi orang yang kita butuhkan dalam masyarakat. Sayangnya sekolah-sekolah dan universitas-universitas “terbaik” kita tidak menghasilkan orang-orang yang mencari dan menemukan makna, kebenaran, serta kesenangan dalam apa yang dia lakukan. Selama hidupnya, anak seperti itu akan terus belajar. Setiap pengalaman akan membuat model mentalnya akan realitas menjadi lebih lengkap serta lebih realistis, sehingga membuat dia lebih mampu untuk bertindak secara lebih realistis, imajinatif, dan dia lebih mampu bertindak secara lebih realistis, imajinatif, dan konstruktif terhadap pengalaman baru apa saja yang dijumpainya.

Kita tidak bisa memiliki pembelajaran yang nyata di sekolah bila kita terus berfikir tugas dan hak kitalah mengatakan kepada anak-anak apa yang mesti mereka pelajari. Kita tidak bisa tahu, kapan pun, pengetahuan atau pemahaman seperti apa yang paling dibutuhkan seorang anak yang paling memperkuat dan paling sesuai dengan model realitasnya. Hanya anak itu sendirilah yang tahu. Mungkin dia tidak mengetahuinya dengan sangat baik juga. Namun dia pasti mengetahuinya seratus kali lebih baik daripada kita. Paling baik yang dapat kita lakukan ialah berusaha membantu, dengan membiarkan dia tahu secara garis besar apa yang tersedia dan di mana dia dapat mencarinya. Memilih apa yang ingin dia pelajari dan apa yang tidak ingin dia pelajari merupakan sesuatu yang harus dia lakukan sendiri.

Ada satu alasan lagi, dan ini merupakan alasan yang paling penting, mengapa kita mesti menolak ide tentang sekolah dan ruang kelas sebagai tempat dimana, di kebanyakan waktu, anak-anak melakukan apa yang diinginkan kebanyakan orang dewasa. Alasan bahwa tidak ada cara lain memaksa anak-anak tanpa membuat mereka merasa takut atau lebih takut lagi. Kita tidak boleh menipu diri sendiri dengan berfikir bahwa kenyataannya tidak seperti itu.

Gagasan mengenai paksaan tanpa rasa sakit dan tanpa mengancam adalah ilusi.Rasa takut adalah “sahabat karib” dari pemaksaan sekaligus juga konsekuensinya yang tidak terhindarkan. Jika anda fikir tugas andalah membuat anak-anak melakukan apa yang anda inginkan, tidak peduli apakah anak-anak akan melakukannya atau tidak, otomatis anda membuat mereka takut akan apa yang terjadi pada mereka bila mereka tidak melakukan apa yang anda inginkan. Anda dapat melakukan hal ini dengan cara-cara kuno, secara terbuka atau berterus terang, dengan ancaman kata-kata yang tajam, pembatasan kebebasan, atau hukuman fisik, atau anda pula dapat pula melakukannya dengan cara-cara modern, secara halus, tenang, dengan menangguhkan penerimaan, dan persetujuan yang selalu ditunggu anak-anak atau dengan membuat mereka merasa bhawa hukuman tertentu telah menanti mereka di masa yang akan datang, yang sangat samar dibayangkan namun sangat sukar dihindari. Anda dapat, seperti yang banyak guru berbakat lakukan, membuka gudang penyimpanan rasa takut, rasa malu, dan rasa bersalah yang besar yang ada di dalam diri anak –anak. Atau anda membiarkan rasa takut yang akan anda alami sendiri bila anak-anak tidak melakukan apa yang anda inginkan menular dan mempengaruhi mereka. Maka, anak-anak akan merasa dan terus merasa bahwa hidup ini sarat dengan bahaya, di mana hanya orng-orang dewasa yang berkehendak baik seperti andalah yang dapat melindungi mereka dari bahaya itu, dan bahwa kehendak baik ini mudah sirna dan harus terus didapatkan setiap hari.

 Alternatifnya adalah menjadikan sekolah dan ruang kelas sebagai tempat di dalamnya setiap anak dengan caranya masing-masing dapat memuaskan rasa ingin tahunya, mengembangkan kemampuan dan talenta-talentanya, mengejar minat-minatnya, dan merasakan keragaman serta kekayaan kehidupan yang begitu besar dari orang-orang dewasa serta anak-anak yang lebih tua di sekitarnya. Singkatnya sekolah harus menjadi pusat aktivitas intelektual, seni, kreativitas, dan olahraga, di dalamnya setiap anak dapat memperoleh apa yang dia inginkan.

0 komentar: