Ketika membicarakan intelegensi,
kita tidak mengacu pada kemampuan untuk memperoleh nilai yang bagus dalam tes
tertentu, atau kemampuan berprestasi bagus di sekolah, semua ini paling-paling
hanyalah indikator untuk sesuatu yang lebih besar, dalam, dan penting.
Intelegensi yang kita maksud adalah suatu gaya hidup, cara berperilaku dalam
berbagai situasi, terutama dalam situasi yang baru, asing, dan membingungkan.
Tes intelegensi yang sesungguhnya tidak akan berfokus pada seberapa besar
pengetahuan kita mengenai cara bertindak, melainkan cara kita berperilaku
ketika kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Orang cerdas, muda atau tua, ketika menghadapi suatu
persoalan atau situasi baru akan membuka dirinya terhadap situasi atau persoalan
itu. Dia
mencoba memahami sesuai pikirannya dan mempersepsikan segala sesuatu menurut
kesanggupannya terhadap situasi dan persoalan itu. Dia memikirkan persoalan
itu, alih-alih memikirkan dirinya sendiri atau apa yang mungkin akan terjadi
pada dirinya, dia bergumul dengan persoalan dan situasi baru itu dengan berani,
imajinatif, pandai, percaya diri atau paling tidak penuh pengharapan, dan
ketika gagal menaklukannya, dia tidak akan merasa malu atau takut akan
kesalahan-kesalahannya melainkan mengambil pelajaran darinya, inilah yang
disebut inteligen. Jelas sekali bahwa akarnya terletak pada perasaan tertentu
tentang kehidupan dan tentang diri sendiri terkait kehidupan. Sementara itu,
nirintelegensi (unintelligence) bukan
seperti anggapan kebanyakan psikolog yang menyatakan bahwa nirintelegensi hanya
satu tingkat saja di bawah intelegensi.
Nirintelegensi merupakan cara berperilaku yang sama
sekali berbeda, yang lahir dari serangkaian sikap yang sama sekali berbeda.
Dalam penelitian dibandingkan
anak-anak yang cerdas, tidak cerdas atau kurang cerdas telah memperlihatkan
kepadanya bahwa anak yang cerdas, yang kurang cerdas, dan yang bodoh
masing-masing merupakan individu yang sangat berbeda. Anak yang cerdas selalu
ingin tahu tentang hidup dan realitas, sigap untuk berhubungan dengannya,
merengkuhnya, serta menyatukan diri dengannya. Tidak ada tembok pemisah atau
rintangan antara dia dan kehidupan. Anak yang bodoh sangat kuran ingin tahu,
jauh kurang tertarik dengan apa yang sedang terjadi dan apa yang nyata, serta
cenderung hidup dalam dunia fantasi. Anak yang cerdas senang melakukan
percobaan, mencoba hal-hal baru, dia hidup sesuai dengan rumus bahwa ada lebih
dari satu cara untuk melakukan hal yang dianggapnya sulit. Jika dia tidak bisa
melakukan sesuatu dengan satu cara, dia akan segera mencoba cara yang lain.
Anak yang bodoh biasanya takut mencoba cara apa pun, bahkan dibutuhkan usaha
keras untuk meyakinkan dia agar mencoba bahkan sekali saja. Bila percobaan yang
dia lakukan itu gagal, dia selesai.
Anak yang cerdas biasanya sabar, sanggup
bertoleransi terhadap ketidakpastian serta kegagalan, dan akan terus mencoba
sampai menemukan jawaban. Ketika semua percobaan yang dilakukannya gagal, dia
bahkan dapat mengakui secara terus terang bahwa untuk sementara dia belum bisa menemukan jawaban. Hal
itu mungkin saja akan mengganggunya, tetapi dia bisa bersabar. Sering terjadi, anak cerdas
tidak ingin diberi tahu cara menyelesaikan persoalan atau mengatasi masalah
yang sedang dia hadapi, sebab dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk
memahami sendiri persoalan itu pada kesempatan berikutnya. Namun, tidak
demikian dengan anak bodoh. Biasanya, dia tidak bisa bertahan dalam
ketidakpastian dan kegagalan. Baginya, sesuatu pertanyaan yang tak terjawab
bukan merupakan tantangan atau kesempatan, melainkan suatu ancaman. Artinya, jika dia tidak
segera menemukan jawaban maka jawaban itu harus diberikan kepadanya, dengan
segera. Dia
juga mesti memiliki jawaban terhadap segala sesuatu. Demikianlah anak-anak
itu. Terhadap
mereka, seorang guru pernah berkata, “murid-murid saya suka diberi pertanyaan
yang hanya memerlukan satu jawaban tunggal.”Memang, anak-anak bodoh selalu
demikian dan, aneh bin ajaib, guru tersebut pun begitu.
Anak-anak cerdas bersedia untuk terus maju, meski dengan
dasar pemahaman dan informasi yang tidak sempurna. Dia bersedia menanggung
risiko mengarungi samudera raya yang belum dipetakan, untuk bereksplorasi
ketika daratan tampak suram, dengan sedikit petunjuk, dan tanpa penerangan yang
memadai. Sekedar contoh, anak-anak cerdas akan selalu membaca buku yang belum
dipahami dengan harapan agar setelah beberapa waktu ia akan cukup memahaminya
sehingga mendorong dia untuk merasa ada gunanya untuk terus membacanya sampai
selesai. Akan tetapi, anak-anak bodoh akan terus maju ketika ia yakin secara
persis di mana dia berdiri dan apa yang terbentang dihadapannya. Jika dia
merasa tidak tahu secara persis apa yang akan diberikan oleh suatu pengalaman
dan jika hal itu tidak persis seperti pengalaman yang dimilikinya, dia tidak
akan terlibat di dalamnya. Anak-anak cerdas merasa bahwa alam raya, secara
keseluruhannya, dapat diapersepsi, rasional, dan merupakan tempat yang nyaman.
Sementara anak-anak bodoh akan merasa bahwa alam raya ini tidak dapat
diapersepsi, tidak dapat diprediksi, serta berbahaya. Dia merasa bahwa dia
tidak pernah dapat memperkirakan apa yang mungkin terjadi, terlebih lagi dalam
situasi baru, kecuali bahwa keadaan itu akan menjadi sangat buruk.
Tak seorang pun dilahirkan bodoh. Coba sesekali
amati bayi dan anak-anak, dan memikirkan secara serius apa yang mereka pelajari
dan lakukan,
dan anda akan melihat bahwa mereka (kecuali bayi dan anak-anak yang sangat
terbelakang) memperlihatkan suatu gaya hidup dan hasrat serta kemampuan untuk
belajar, yang pada diri orang-orang dewasa dapat disebut sebagai jenius. Hampir
tidak satu pun orang dari seribu atau sepuluh ribu orang, yang sanggup belajar
begitu banyak selama tiga tahun dalam hidupnya atau mengalami perkembangan
pemahaman yang pesat tentang dunia di sekitarnya, seperti halnya setiap bayi
belajar dan tumbuh dalam tiga tahun pertama hidupnya. Namun apa yang terjadi
dengan kapasitas belajar yang luar biasa serta perkembangan intelektual ini
seiring bertambahnya
usia kita?
Yang terjadi, kapasitas belajar dan perkembangan
intelektual ini dirusak oleh, lebih dari apapun, proses secara keliru kita namai sebagai
pendidikan, sebuah proses yang terjadi di sebagian besar rumah dan sekolah.
Kita, orang-orang dewasa, merusak banyak kapasitas intelektual dan kreativitas anak-anak
terutama dengan membuat mereka menjadi takut, takut karena tidak melakukan apa
yang diinginkan pihak lain, takut melakukan kesalahan, takut gagal, dan takut
salah. Dengan demikian kita membuat mereka takut berspekulasi, takut melakukan
percobaan, serta takut mencoba hal-hal sulit dan yang asing. Bahkan kalaupun
bukan kita yang menciptakan rasa takut pada anak-anak, ketika mereka datang
kepada kita dengan rasa takut yang sudah jadi dan telah terbentuk, kita
menggunakan rasa takut ini sebagai pegangan untuk memanipulasi mereka serta
membuat mereka melakukan apa yang kita kehendaki. Alih-alih mencoba mengurangi
rasa takut mereka, kita justru memperkuat rasa takut itu, sering kali sampai
pada taraf yang mengkhawatirkan. Kita menyukai anak-anakyang sedikit takut pada
kita, penurut, sopan, kendati kita
tentu tidak begitu suka juga bila mereka menjadi sedemikian takut sehingga
mengancam gambaran diri kita sebagai orang yang baik dan pantas disayang, dan
karena itu tidak perlu ditakuti. Kita menganggap ideal tipe anak “baik” yang
cukup takut terhadap kita sehingga melakukan apa saja yang kita inginkan, tanpa
membuat kita merasa bahwa rasa takut terhadap kitalah yang membuat mereka
melakukannya.
Kita merusak kecintaan akan belajar tanpa pamrih pada diri
anak-anak, yang begitu kuat ketika mereka masih kecil, dengan mendorong serta
memaksa mereka agar bekerja demi memperoleh ganjaran-ganjaran picik seperti
bintang emas, kertas kerja dengan angka 100 yang dibingkai dan dipajang
ditembok, nilai A dalam laporan hasil pendidikan, sertifikat, daftar mahasiswa
unggulan, atau singkatnya demi kepuasan rendahan berupa perasaan bahwa mereka
lebih baik daripada siapapun. Kita mendorong mereka untuk merasakan bahwa
maksud dan tujuan dari segala sesuatu yang mereka lakukan di sekolah tidak
lebih dari sekedar memperoleh angka yang bagus dalam setiap tes, atau membuat
orang lain terkesan dengan apa yang mereka ketahui. Kita tidak hanya membunuh
rasa ingin tahu merupakan sesuatu yang baik dan dapat dibanggakan. Tidak heran,
ketika mencapai usia sepuluh tahun, kebanyakan mereka tidak akan mengajukan
pertanyaan dan pandai mencemooh segelintir anak-anak yang mau mengajukan
pertanyaan.
Dalam banyak cara, kita meruntuhkan keyakinan
anak-anak bahwa berbagai hal masuk akal, atau harapan mereka bahwa berbagai hal
bisa terbukti masuk akal. Kita melakukan ini, pertama-tama dengan membagi-bagi
hidup menajdi potongan-potongan pokok persoalan yang berubah-ubah dan tidak
berhubungan, yang kemudian coba kita “integrasikan” dengan peralatan yang
artifisial dan tidak relevan.
Lebih buruk lagi, kita melakukan ini tanpa tahu
bahwa kita sedang melakukannya, sehingga setelah mendengar omong kosong yang
kita jejalkan ke telinga mereka seakan-akan itu bermakna, mereka kemudian yakin
bahwa sumber kebingungan mereka bukan terletak pada materinya, melainkan pada
kebodohan mereka sendiri. Labih jauh lagi, kita memisahkan anak-anak dari akal
sehat mereka sendiri dan dari dunia realitas dengan cara menuntut mereka
bermain dan menjejalkan mereka dengan kata-kata serta simbol-simbol, yang
memiliki sedikit atau bahkan tanpa makna
sama sekali. Kita membuat simbol-simbol itu menjadi tidak bermakna bagi
mayoritas siswa, yang tidak mampu menggunakan simbol sebagai cara untuk belajar
tentang dan berhubungan dengan realitas, yang tidak dapat memahami instruksi
tertulis, yang meski telah membaca buku, pengetahuannya tidak lebih baik
dibandingkan sebelum membaca, yang mungkin memiliki beberapa kata baru yang
bergemerutuk di kepalanya, namun yang model mentalnya tentang dunia tetap tidak
berubah dan memang kebal terhadap perubahan. Terhadap kelompok minoritas, yakni
para siswa yang mampu dan sukses, kita sepertinya hendak mengubahnya menjadi
sesuatu yang lain sekaligus juga membahayakan. Tipe orang yang dapat
memanipulasi kata-kata serta symbol-simbol secara cepat, sambil tetap sangat
terpisah dari realitas tempat mereka berada, tipe orang yang suka berbicara
dalam generalitas yang luas, namun akan diam dan kesal jika ada yang meminta
contoh dari apa yang sedang mereka bicarakan.
Kita mendorong anak-anak agar betindak bodoh, bukan
hanya dengan menakut-nakuti serta membingungkan mereka tetapi juga dengan
membuat mereka bosan dengan memenuhi hari-hari mereka dengan tugas-tugas
menjemukan dan repetitive yang tidak menarik perhatian atau membangkitkan
intelegensi mereka. Hati kita bahagia ketika menyaksikan seruangan penuh
anak-anak yang begitu rajin mengerjakan berjam-jam tugas-tugas yang dipaksakan,
dan kita akan lebih puas dan bahagia lagi jika seseorang mengatakan kepada kita
bahwa anak-anak sangat tidak suka terhadap apa yang sedang mereka kerjakan.
Kita mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa pekerjaan yang tidak ada
habisnya dan membosankan ini merupakan persiapan untuk hidup yang baik kelak,
dan kita takut bahwa tanpa itu semua maka anak-anak menjadi sangat sulit
“dikendalikan”. Akan
tetapi, mengapa pekerjaan ini sangat membosankan? Mengapa tidak
memberikan tugas-tugas yang lebih menarik dan menantang? Hal ini karena, di
sekolah dimana setiap tugas mesti dikerjakan sampai selesai dan setiap jawaban
harus benar, apabila kita memberi anak-anak tugas yang lebih menantang mereka
menjadi takut dan segera memaksa kita menunjukan cara-cara untuk
mengerjakannya. Ketika
seseorang memiliki begitu banyak tugas tertulis yang harus dikerjakan, dia
tentu tidak memiliki waktu untuk banyak berfikir.Dengan cara-cara seperti itu,
anak-anak dibiasakan menggunakan hanya sedikit kapasitas berfikirnya. Mereka
akan merasa bahwa sekolah merupakan tempat di mana mereka menghabiskan sebagian
besar waktu untuk mengerjakan tugas-tugas yang membosankan, dalam cara yang
menjemukan. Dalam waktu singkat,
anak-anak akan terbiasa berperilaku tidak cerdas yang susah dihilangkan
sekalipun mereka ingin bebas dari perilaku tersebut.
Sekolah cenderung menjadi tempat yang tidak jujur,
juga tidak nyaman. Kita
orang-orang dewasa sering kali tidak jujur terhadap anak-anak, paling tidak
disekolah. Kita mengajari mereka bukan dengan apa yang kita pikirkan, melainkan
apa yang kita rasa harus mereka pikirkan atau apa yang orang lain rasakan atau
katakana harus mereka pikirkan. Kelompok-kelompok
penekan akan sangat gampang membuang dari ruang kelas, buku pelajaran, dan
perpustakaan, fakta-fakta, serta gagasan-gagasan apa pun yang menurut mereka tidak menyenangkan
ataupun susah. Dengan kata lain, kita tidak akan bersikap jujur kepada
anak-anak sebagaimana seharusnya sampai orang tua, politisi, dan kelompok
penekan menuntut kita bersikap demikian. Bahkan dalam bidang-bidang yang paling
tidak kontroversial sekalipun, pengajaran kita, buku-buku, dan buku teks yang
kita berikan kepada anak-anak menyajikan gambaran yang tidak jujur dan
terdistrosi tentang dunia.
Faktanya, kita tidak merasa berkewajiban untuk
bersikap jujur kepada anak-anak. Kita
seperti manajer dan manipulator. Kita menganggap bahwa hak dan kewajiban kita
bukanlah mengatakan kebenaran, melainkan mengatakan apa saja yang terbaik yang
paling mendukung tujuan kita. Dalam hal ini, tujuan membuat anak-anak tumbuh
menjadi orang-orang yang seperti kita inginkan, memikirkan apa saja yang kita
inginkan mereka pikirkan. Kita hanya perlu meyakinkan diri sendiri bahwa suatu
kebohongan akan “lebih baik” bagi anak-anak daripada kebenaran, dan kita pun
akan berbohong. Kita bahkan tidak selalu
memerlukan alasan itu, sering kali kita berbohong hanya untuk kenyamanan kita
sendiri.
Yang lebih buruk lagi, kita tidak jujur tentang diri
kita sendiri, tentang rasa takut, keterbatasan-keterbatasan,
kelemahan-kelemahan, prasangka-prasangka, dan juga motif-motif kita. Kita
menampilkan diri kepada anak-anak seakan-akan kita ini dewa, serba tahu
“mahakuasa”, selalu rasional, pasti adil, dan selalu benar. Hal ini merupakan
kebohongan terburuk dari segala kebohongan yang dapat kita katakan tentang diri
kita sendiri
Ketika kita tidak jujur dengan perasaan kita
sendiri, hal inilah yang membuat atmosfer sekian banyak sekolah menjadi sangat
tidak menyenangkan. Orang-orang, yang menulis buku yang harus dibaca oleh para
guru, berulang kali mengatakan bahwa para guru harus mencintai semua anak-anak
di dalam kelas dengan kadar yang sama. Bila dengan ini dimaksudkan bahwa
seorang guru mesti melakukan apa saja yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk
setiap anak di dalam kelas,bahwa ia memiliki tanggung jawab yang sama bagi
kebaikan setiap anak, perhatian yang sama terhadap masalah mereka
masing-masing. Akan tetapi, yang merka maksud mereka bukanlah seperti itu;
maksud mereka adalah perasaan, afeksi, semacam kesenangan dan kebahagiaan yang satu orang dapatkan dari keberadaan dan
kebersamaannya dengan oran lain. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang dapat ditakar
dengan sendok kecil, di mana setiap orang memperoleh sama banyak.
Seorang guru yang mengatakan bahwa “saya mencintai
semua anak-anak di dalam kelas saya sama rata.” Sebenarnnya hal itu mustahil
dan ini sebenarnya sedang berbohong kepada dirinya sendiri atau kepada yang
lain dan mungkin justru sangat tidak menyukai anak-anak itu. Tidak ada yang
salah dengan itu, banyak juga orang dewasa tidak suka dengan anak-anak dan
tidak ada alasan mengapa
mereka merasa demikian. Akan tetapi, persoalannya adalah mereka merasa bahwa
mereka harus suka anak-anak. Ini
membuat mereka merasa bersalah, membuat mereka benci, yang pada gilirannya
membuat mereka berusaha mengingkari rasa bersalah mereka dengan kesabaran dan
rasa benci mreka dengan kekejaman yang halus. Suatu model kekejaman
yang dapat diamati dalam banyak ruang kelas. Di atas segalanya, itulah yang
membuat mereka berbicara dan bertindak dalam cara yang palsu, bermanis-manis,
memuakkan, serta dengan senyum dan cara tertawa yang palsu, yang anak-anak
sedemikian banyak di sekolah, sekaligus yang mereka tidak sukai dan benci.
Ketika kita tidak jujur dengan mereka, kita tidak
mengizinkan anak-anak agar juga jujur terhadap kita. Pertama-tama, kita
menuntut mereka agar ambil bagian dalam sebuah khayalan bahwa sekolah dalah
tempat yang luar biasa dan bahwa mereka mencintai sekolah setia detiknya. Mereka belajar lebih
dini bahwa rasa tidak menyukai sekolah atau guru adalaha dilarang, tidak boleh
dikatakan, bahkan tidak boleh dipikirkan.
Di balik banyak hal yang kita lakukan di sekolah
terletak beberapa gagasan yang dapat diungkapkan secara garis besar sebagai
beriku: (1). Dari begitu banyaknya pengetahuan manusia, ada bagian dan potongan
tertentu yang dapat disebut sebagai bagian esensial, yang perlu diketahui oleh
setiap orang, (2). Seseorang dapat dianggap berpendidikan dan memenuhi syarat
untuk hidup secara inteligen dalam dunia modern dewasa ini serta menjadi
anggota masyarakat yang berguna bergantung seberapa banyak dia mengiasai
pengetahuan esensial, (3). Karenanya tugas sekolahlah memasukan sebanyak
mungkin pengetahuan esensial ini ke dalam pikiran anak-anak. Maka, kita lalu
berusaha memasukan fakta-fakta, rumus-rumus, dan gagasan-gagasan tertentu ke dalam
kepala anak-anak di sekolah, terlepas dari apakah itu menarik bagi mereka atau
tidak, dan kalaupun ada banyak hal lain yang jauh lebih menarik dipelajari.
Gagasan-gagasan ini absurd dan omong kosong. Kita
tidak akan pernah mengalami pendidikan yang sesungguhnya atau pembelajaran yang
nyata di sekolah-sekolah kita jika kita belum membersihkan segal gagasan yang
tidak masuk akal ini. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana ank-anak
mempelajari apa yang sangat ingin mereka ketahui, alih-alih apa yang kita piker
harus mereka lakukan. Anak yang ingin mengetahui sesuatu akan mengingat hal itu
dan memanfaatkannya begitu dia memilikinya. Anak yang mempelajari sesuatu untuk
menyenangkan pihak lain akan segera melupakannya ketika kebutuhan untuk
menyenangkan pihak lain atau bahaya karena tidak bisa menyenangkan orang lain
berlalu. Inilah alas an mengapa anak-anak sangat cepat melupakan segala sesuatu
yang mereka pelajari di sekolah kecuali sebagian kecil. Hal tersebut tidak ada
gunanya atau tidak menarik bagi merka, mereka tidak ingin, atau berharap, atau
bahkan berniat untuk mengingat hal itu. Satu-satunya perbedaan antara siswa
yang cerdas dan bodoh dalam konteks ini adalah bahwa siswa bodoh akan segera
melupakannya sementara siswa cerdas dengan sangat hati-hati akan menunggu
sampai setelah ujian. Inilah juga mengapa, kita dapat membuang banyak hal yang
kita ajarkan di sekolah, karena toh anak-anak hampir selalu membuang itu semua.
Gagasan tentang suatu kurikulum, kumpulan
pengetahuan yang esensial, akan menjadi absurd sekalipun anak-anak mengingat
apa saja yang kita “ajarkan” kepada mereka. Kita tidak akan sepakat tentang
pengetahuan mana yang esensial. Orang yang telah melatih dirinya dalam bidang
pengetahuan atau kompetensi khusus secara alamiah akan berfikir bahwa
spesialisnya harus ada dalam kurikulum. Para sejarawan “ngotot” agar lebih
banyak lagi kurikulum tentang sejarah, para ahli matematika memaksa lebih
banyak matematika, para ilmuwan menuntut lebih banyak pengetahuan alam, para
ahli bahasa modern lebih menginginkan agar anak-anak belajar bahasa Inggris,
Prancis, German dan seterusnya. Setiap orang menghendaki bidangnya mendapat
perhatian utama, dengan pemahaman apabila permintaan terhadap bidang
keahliannya akan meningkat
maka akan meningkat pula manfaat ekonomis yang ia dapat. Siapa yang akan menang
dan siapa yang kalah tidak bergantung pada kebutuhan nyata anak-anak atau
bahkan masyarakat, tetapi pada siapa yang lebih terampil dalam bidang hubungan
masyarakat, siapa yang lebih jago melobi, dan siapa yang paling sanggup
memanfaatkan peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan pendidikan,
seperti munnculnya sputnik di langit pada malam hari.
Gagasan tentang kurikulum tidak akan sahih kalaupun
kita dapat menyetujui apa yang harus termuat di dalamnya.sebab pengetahuan itu
sendiri berubah. Banyak dari apa yang seorang anak pelajari di sekolah akan
terbukti tidak benar setelah betahun-tahun kemudian.
Selain itu kita tidak dapat menentukan secara pasti
pengetahuan macam apa yang akan sangat dibutuhkan empat puluh, dua puluh, atau
sepuluh tahun dari sekarang.
Bagaimanapun juga, bagaimana kita dapat mengatakan
bahwa sepenggal pengetahuan lebih penting daripada yang lain, atau bahwa
sebagian pengetahuan bersifat lebih esensial, dan sisanya tidak berguna?
Seorang anak yang hendak belajar sesuatu yang tidak dapat dan tidak ingin
diajarkan oleh sekolah akan diberitahu agar tidak membuang-buang waktu. Akan tetapi, bagaimana
bisa kita katakan bahwa apa yang hendak dia pelajari kurang penting daripada
apa yang kita inginkan dia pelajari? Kita seharusnya bertanya berapa banyak
pengetahuan yang dapat dihimpun setiap orang di akhir sekolahnya. Mungkin jutaan
pengetahuan. Apakah
kemudian kita percaya bahwa satu dari jutaan pengetahuan lebih penting daripada
yang lainnya? Atau, apakah
masalah sosial
dan nasional kita akan teratasi jika kita mengetahui satu cara menghasilkan
anak-anak yang memiliki dua juta pengetahuan, ketimbang hanya satu juta?
Persoalan kita tidak muncul dari kenyataan bahwa kita kekurangan para ahli
untuk mengatakan kepada kita tentang apa yang perlu dilakukan, melainkan karena
kita tidak dan tidak akan melakukan apa yang kita tahu perlu dilakukan
sekarang.
Belajar (learning) bukanlah segala-galanya, dan
tentu saja sepengal pembelajaran sama baiknya dengan yang lain. Bukan materi
pelajaran yang membuat suatu pembelajaran lebih berharga daripada yang lain,
melainkan semangat dalam melaksanakan pembelajaran itu. Jika seorang anak
menjalankan jenis pembelajaran seperti dijalankan kebanyakan anak-anak di
sekolah pun jika mereka benar-benar belajar menelan begitu saja semua yang
dikatakan guru, agar dapat dituangkan kembali secara utuh tanpa berfikir ketika
guru memintanya. Dia
membuang-buang waktu, atau, lebih dari itu, kita mebuang-buang waktunya.
Pembelajaran seperti ini tidak akan bersifat permanen, tidak relevan, dan tidak
berguna. Namun, seorang anak yang belajar secara alamiah, yang mengejar rasa
ingin tahunya, menambah dalam model mentalnya akan realitas apa saja yang dia
butuhkan, serta yang menolak tanpa rasa takut dan bersalah apa yang tidak dia
butuhkan, akan berkembang dalam pengetahuan, dalam kecintaannya akan
pembelajaran, dan dalam kemampuannya untuk belajar. Dia berada pada jalur yang
tepat untuk menjadi orang yang kita butuhkan dalam masyarakat. Sayangnya
sekolah-sekolah dan universitas-universitas “terbaik” kita tidak menghasilkan
orang-orang yang mencari dan menemukan makna, kebenaran, serta kesenangan dalam
apa yang dia lakukan. Selama hidupnya, anak seperti itu akan terus belajar.
Setiap pengalaman akan membuat model mentalnya akan realitas menjadi lebih
lengkap serta lebih realistis, sehingga membuat dia lebih mampu untuk bertindak
secara lebih realistis, imajinatif, dan dia lebih mampu bertindak secara lebih realistis,
imajinatif, dan konstruktif terhadap pengalaman baru apa saja yang dijumpainya.
Kita tidak bisa memiliki pembelajaran yang nyata di
sekolah bila kita terus berfikir tugas dan hak kitalah mengatakan kepada
anak-anak apa yang mesti mereka pelajari. Kita tidak bisa tahu, kapan pun,
pengetahuan atau pemahaman seperti apa yang paling dibutuhkan seorang anak yang
paling memperkuat dan paling sesuai dengan model realitasnya. Hanya anak itu
sendirilah yang tahu. Mungkin
dia tidak mengetahuinya dengan sangat baik juga. Namun dia pasti
mengetahuinya seratus kali lebih baik daripada kita. Paling baik yang dapat
kita lakukan ialah berusaha membantu, dengan membiarkan dia tahu secara garis
besar apa yang tersedia dan di mana dia dapat mencarinya. Memilih apa yang
ingin dia pelajari dan apa yang tidak
ingin dia pelajari merupakan sesuatu yang harus dia lakukan sendiri.
Ada satu alasan lagi, dan ini merupakan alasan yang
paling penting, mengapa kita mesti menolak ide tentang sekolah dan ruang kelas
sebagai tempat dimana, di kebanyakan waktu, anak-anak melakukan apa yang
diinginkan kebanyakan orang dewasa. Alasan
bahwa tidak ada cara lain memaksa anak-anak tanpa membuat mereka merasa takut
atau lebih takut lagi. Kita tidak boleh menipu diri sendiri dengan berfikir
bahwa kenyataannya tidak seperti itu.
Gagasan mengenai paksaan tanpa rasa sakit dan tanpa
mengancam adalah ilusi.Rasa takut adalah “sahabat karib” dari pemaksaan
sekaligus juga konsekuensinya yang tidak terhindarkan. Jika anda fikir tugas
andalah membuat anak-anak melakukan apa yang anda inginkan, tidak peduli apakah
anak-anak akan melakukannya atau tidak, otomatis anda membuat mereka takut akan
apa yang terjadi pada mereka bila mereka tidak melakukan apa yang anda
inginkan. Anda dapat melakukan hal ini dengan cara-cara kuno, secara terbuka
atau berterus terang, dengan ancaman kata-kata yang tajam, pembatasan
kebebasan, atau hukuman fisik, atau anda pula dapat pula melakukannya dengan
cara-cara modern, secara halus, tenang, dengan menangguhkan penerimaan, dan
persetujuan yang selalu ditunggu anak-anak atau dengan membuat mereka merasa
bhawa hukuman tertentu telah menanti mereka di masa yang akan datang, yang sangat samar
dibayangkan namun sangat sukar dihindari. Anda dapat, seperti yang banyak guru
berbakat lakukan, membuka gudang penyimpanan rasa takut, rasa malu, dan rasa
bersalah yang besar yang ada di dalam diri anak –anak. Atau anda membiarkan
rasa takut yang akan anda alami sendiri bila anak-anak tidak melakukan apa yang
anda inginkan menular dan mempengaruhi mereka. Maka, anak-anak akan merasa dan
terus merasa bahwa hidup ini sarat dengan bahaya, di mana hanya orng-orang
dewasa yang berkehendak baik seperti andalah yang dapat melindungi mereka dari
bahaya itu, dan bahwa kehendak baik ini mudah sirna dan harus terus didapatkan
setiap hari.
Alternatifnya adalah menjadikan sekolah dan ruang
kelas sebagai tempat di dalamnya setiap anak dengan caranya masing-masing dapat
memuaskan rasa ingin tahunya, mengembangkan kemampuan dan talenta-talentanya,
mengejar minat-minatnya, dan merasakan keragaman serta kekayaan kehidupan yang
begitu besar dari orang-orang dewasa serta anak-anak yang lebih tua di
sekitarnya. Singkatnya sekolah harus menjadi pusat aktivitas intelektual, seni,
kreativitas, dan olahraga, di dalamnya setiap anak dapat memperoleh apa yang
dia inginkan.